Tak terasa ini sudah ketigakalinya saya mengunjungi Bale Raos, sebuah cafe yang berada di lingkungan keraton Yogyakarta. Yang menarik dari cafe ini adalah suasana-nya yang sangat kraton dengan nuansa jaman belanda, ditambah dengan menu-nya yang benar-benar njawani tempo dulu, bahkan merupakan masakan yang disukai oleh para sultan karena di setiap menu-nya tertulis masakan mana yang manjadi favorit Sultan HB VIII, dan mana yang menjadi favorit Sultan HB IX, dan mana yang menjadi favorit Ultan HB X.

Tapi yang paling menggelitik keingintahuanku adalah setiap kali mencicipi masakan disana, yang kudapatkan adalah masakan yang hambar. Ya, hambar bagi ukuran lidah seorang bali seperti saya yang telah terbiasa dengan bumbu genep (lengkap).

Tiga kali mencicipi menu yang berbeda-beda, tapi tetap saja terasa hambar di lidahku.

Sampai ahirnya saya tersadar dengan 2 buah sloka dari Bhagavad Gita (15.8 dan 15.9) yang menjelaskan bahwa apa yang kita makan akan mempengaruhi pikiran dan indria kita. Kebanyakan orang akan melihatnya sebagai “we are what we eat”.

Dari sini lah saya tersadar dengan kearifan dari para sultan, yang dengan rendah hati dan welas asih mengurangi sifat makanan yang terlalu berbumbu, baik pedas, asin, manis, maupun pahit. Semuanya ditujukan untuk mempertahankan sifat diri sujati untuk menjaga kearifan dan sifat welas asih yang sudah sepatutnya dimiliki oleh pemimpin.

Sudah saatnya saya juga mengikuti jejak beliau.

Matur sembah nuwun.