Kutipan tulisan Swami Shivananda Saraswati (1887-1963) dalam karyanya berjudul : “Guru Tatwa” yang dikutip oleh Anand Krishna:
“I told Venkatesanandaji, when I was at Roorkee:
‘Don’t always refer me as Gurudev, in your talk;
Just say Swamiji, that will do.”
“He said: ‘if I say Swamiji, it does not express the Bhav (innermost feeling) of my heart;
It creates an illusion of equality with Gurudev.’
Then I allowed him to continue to refer to me as Gurudev.”
Kita harus memahami latar belakang dari percakapan di atas, antara seorang SADGURU dan SHISHYA.
Ketika seorang shishya memasuki sanyas ashram, tahap kehidupan di mana ia berkomitment dengan dirinya untuk menerima seluruh umat manusia sebagai keluarganya, maka ia diberi gelar “Swami” oleh sang Sadguru. “Swami” berarti ‘ia yang telah mengendalikan dirinya’ . Swami bukanlah gelar kehormatan. Swami adalah gelar “peringatan” supaya si penyandang selalu mengingat komitmentnya.
Saat pemberian gelar itu, secara teknis seorang Shishya adalah sama derajatnya dengan sang Sadguru. Dua-duanya adalah ‘Swami’. Tidak ada sebutan Swami kecil suami junior dan swami besar, swami senior. Sebab itulah, Swami Shivananda mengingatkan seorang Shishya yang telah memasuki sanyas ashram, “sudahlah kau tidak perlu menyebutku Gurudev lagi, sebut saja swami.
Sang shishya dalam hal ini Swami Venkantesananda, keberatan: “sebutan ‘swami’ tak mampu mengungkapkan perasaanku terhadap Sadguru. Malah memunculkan ilusi seolah aku sudah sejajar dengan Sadguru. Biarlah aku tetap menebutmu ‘Gurudev’.
Pikiran Venkatesananda jernih, sebab itulah dia mampu menolak ‘Ilusi kesejajaran dengan Sadguru’. Tidak mudah menolak ilusi demikian.
Banyak siswa non-shishya tidak sabar menunggu.. walaupun pelita diri dan jiwanya belum menyala, sudah cepat-cepat memproklamirkan diri sebagai guru. Mereka tidak menolak ilusi, malah merangkulnya dengan senang hati.
Banyak guru setengah matangseperti itu…
Contohlah Venkatesananda, jangan sampai seperti Jiva Gosain yang tdk mengenali seorang Dewi Mira karean berjubah fisik seorang perempuan, atau beratribut berbeda dari atribut yg sdh anda kenal.
Jiva Gosain sungguh beruntung, ia menyadari kesalahannya, kekhilafannya, dan mendatangi Dewi Mira. Tidak semua orang seberuntung dia.
Adakalanya setelah menerima teguran, kita malah memasang kuda-kuda untuk melindungi diri. Kita tidak mau kehilangan muka.
Mari kita belajar rendah hati dan tidak terjebak ilusi palsu dh keangkuhan dan ego spiritual yg palsu…pranam…