Cuplikan dari tulisan Anand Krishna dalam bukunya Dvipantara Yoga Sastra, bagi penekun spiritual atau yang menyenangi Yoga kutipan-kutipan ini saya rasa cukup bermanfaat :
Yamamsca niyamamscaiva yada raksenu panditah
Tesam samraksitenaiva buddhirasya na calyate
Seseorang harus senantiasa berpegang pada “yama”. Disiplin atau pengendalian diri, dan “niyama” , pedoman berperilku untuk hidup berkesadaran
Untuk senantiasa menjaga “budhi” atau “mind” yang telah dimurnikan.
Dengan demikian, seorang Pandita, seorang bijak, ia yang berpengetahuan sejati senantiasa menjaga “Budhi-nya” agar tak tergoyahkan.
Yama dan Niyama sering disalah tafsirkan sebagai ”larangan dan anjuran” , bukan bukan itu artinya. Yama dan Niyama bukanlah peraturan legal atau peraturan berdasarkan kepercayaan tertentu yang bersifat mengikat. Seluruh point, seluruh anjuran yang diberikan dalam semua model Yama dan Niyama yang dikenal, didasarkan pada pilihan pribadi seseorang, seseorang secara sukarela mentaatinya. Ini adalah urusan pilihan pribadi. Tidak ada imbalan surga atau hukuman neraka.
Ahimsa brahmacaryanca satyamavyavaharikam
Astainyamiti pancaite yama rudrena bhasistah
“Ahimsa” atau tanpa kekerasan; “Brahmacarya” atau pengendalian hasrat seksual agar energy yang terhematkan dapat digunakan untuk kegiatan yang lebih kreatif; “Satya” atau kebenaran; “Avyavaharika” –non materialisme atau tidak menjadi orang yang materialistis; dan “Asteya” – tidak mencuri atau merampas hak orang lain – inilah lima yama, lima disiplin yang dikumandangkan Rudra, Shiva yang maha membahagiakan, maha cemerlang dan bersuara lantang.
“Ahimsa” yang umumnya diterjemahkan sebagai non-kekerasan mungkin adalah salah satu yama paling universal, yang juga paling sering disalah artikan.
“Ahimsa” bukanlah sekedar urusan menjadi vegetarian dan mengubah diet. Ahimsa adalah program komplit untuk mempraktekan non-kekerasan, atau tidak mencelakakan dalam segala hal. Tidak memikirkan pikiran-pikiran penuh kekerasan, atau setidaknya, tidak melayani pikiran-pikiran tersebut, sehingga reda dengan sehingga reda dengan sendirinya.
“Ahimsa” juga berarti menjaga emosi dan ucapan kita. Segala tindakan kekerasan apapun dimulai dari pikiran dan emosi kekerasan. Dari situlah muncul kata-kata keras dan kasar, termasuk kata-kata penuh kebencian, gosip dan lainsebagainya. Setelahnya itu biasanya muncul tindak kekerasan. Oleh karena itu, seseorang yang ingin mempraktekan disiplin “Ahimsa” ini adalah penting membenahi dahulu lapisan mental dan emosionalnya.
Seorang guru pernah berkata; “ Perhatikan pikiran-pikiran dan emosi-emosi kekerasan di dalam dirimu tanpa melayaninya …!!”
Sebelum mencelakakan orang lain. Pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan emosi tersebut sesungguhnya terlebih dahulu mencelakakan diri kita.
Untuk langsung mempraktekan tanpa kekerasan atau “Ahimsa” pada tataran ucapan dan tindakan, bisa jadi sangat melelahkan. Terlebih lagi kita seringkali hanya menyadari kekerasan yang kita lakukan setelah terlanjur mengucapkan kata-kata penuh kebenciandan melakukan kekerasan. Kita hanya menyadari kesalahan kita, setelah kerusakan terjadi dan menjadi sangat sulit untuk mengembalikan keadaan seperti semula, bahkan untuk memperbaiki kerusakan tersebut, bukan tidak mungkin, tetapi sulit, sangat sulit.
Faktor lain yang tidak kalah penting dari “Ahimsa”, seperti sering diingatkan oleh Mahatma Gadhi, Ahimsa tidak sama dengan kepengecutan. Jangan biarkan seorangpun menyamarkan kepengecutan dirinya sebagai ‘Ahimsa” . Jangan bodohi diri kita dengan menyembunyikan kepengecutan kita di bawah mantel “Ahimsa”.
“Ahimsa” tidak sama dengan tidak menanggapi, ahimsa adalah menanggapi dengan bijak, bukan membalas dengan reaktif dan tendensius, tetapi menanggapi segala tantangan dan situasi.
“Ahimsa” bukan sekedar kata, tetapi adalah gaya hidup, Ahimsa adalah gaya hidup tanpa kekerasan. Oleh karenanya, kita harus cukup bijak untuk memahami nilai-nilai intinya, bukan makna harfiahnya semata.