• About Author
  • Dharma
  • Materi Ajar
    • Algoritma dan Pemrograman
    • Boolean Algebra
    • Microprocessor and Arduino
    • Network Security
    • New Generation Network
    • Software-defined Network
  • Membangun Server dengan FreeBSD
  • Programming Sector
  • Sosialita
  • Survival Guide

kn-OWL-edge

~ knowledge is power and weapon

kn-OWL-edge

Monthly Archives: April 2016

Tiga Guna: Rajas, Tamas, Sattva

06 Rabu Apr 2016

Posted by bogi in Dharma

≈ Tinggalkan komentar

Om Svastiastu….,

Hyang Widi….semoga kami selalu menyadari adanya belenggu tiga guna (sifat alam) ini. Guna Sattva mewakili kebaikan dan kemurnian; Rajas berarti sifat gairah, aktivitas, energi dan mengaktifkan; serta Tamas  yang mewujudkan kegelapan, kebodohan dan kemalasan.

Kegiatan Sattvika yang dipandu oleh guna sattva, membangkitkan dan membimbing kami menuju-Mu Oh Brahman. Kecenderungan Rajasik, menjebak kami pada dinamika material dan kegiatan Tamasika, mengarahkan kita pada ketidakpedulian, kebodohan dan kemalasan.

Hiruk pikuk dunia ini…sangat mudah menyeret kami pada kecendrungan sifat rajasik bahkan tamasik…

Oh Hyang Widi…., tuntunlah kesadaran kami untuk selalu menyadari belenggu ini sehingga dalam setiap tindakan,  kami mampu beranjak dari Tamas ke Raja ke Sattva dan kemudian cerahkanlah agar kami bisa membebaskan diri dari semua guna-guna.

Rahajeng Semeng…

Brahmacarya

06 Rabu Apr 2016

Posted by bogi in Dharma

≈ Tinggalkan komentar

Secara harfiah Brahmacarya berarti ” melakoni hidup layaknya “Brahma atau sang pencipta”. Coba lihat sekeliling kita, amati ciptaan sang pencipta. Kita akan menemukan sesuatu yang mengagumkan,  tiada pengulangan, semua unik. Inilah kreativitas sang pencipta.
“Brahmacarya” adalah sebuah panggilan untuk hidup sekreatif sang pencipta. Karena itu sang master berbicara “Aturlah tingkahlakumu, teladanilah kehidupan Brahma sang pencipta”.
Segala orisinalitas adalah Brahma, kreativitas (creation) adalah Brahma.. yang meniru itu adalah manusia.. makna penting dari meniru adalah, tirulah creativitas Brahma, teladanilah Brahma yang kreatif.. belajar jadi kreatif.
Biasanya selama bersekolah menuntut ilmu, sampai tamat perguruan tinggi, demi kebaikan sebaiknya menghindari hubungan seksual… karena dg begitu kita akan fokus dan seluruh energy hanya terkonsentrasi pada proses belajar dan menjadikan kita kreatif serta unggul.
Dalam kasus apapun, bahkan pada orang yg telah menikah memiliki pasangan, kelebihan aktivitas sex tidak dianjurkan.
Dalam tingkatan “kundalini” , energy orang2 penggemar seks akan selalu tertarik ke bawah bahkan lebih rendah dari cakra-cakra dasar atau tingkatan kesadaran dasar yang terkait dengan kecendrungan hewani yang selalu ingin; makan, minum, seks, dan tidur.
Periksalah lutut orang yg sepanjang hari memikirkan seks – walaupun tidak melakukan tindakan seksual sesering itu, lutut mereka lemah. Mereka menjadi lemah, ingatlah bahwa kita mahluk komposit, apa yg terjadi pada lutut mungkin juga terjadi pada otak, orang yang sering dan setiap saat memikirkan seks, maka biasanya otaknya menjadi Tumpul….

Ahimsa Brahmacarya

05 Selasa Apr 2016

Posted by bogi in Dharma

≈ Tinggalkan komentar

Cuplikan dari tulisan Anand Krishna dalam bukunya Dvipantara Yoga Sastra, bagi penekun spiritual atau yang menyenangi Yoga kutipan-kutipan ini saya rasa cukup bermanfaat :

Yamamsca niyamamscaiva yada raksenu panditah
Tesam samraksitenaiva buddhirasya na calyate

Seseorang harus senantiasa berpegang pada “yama”. Disiplin atau pengendalian diri, dan “niyama” , pedoman berperilku untuk hidup berkesadaran
Untuk senantiasa menjaga “budhi” atau “mind” yang telah dimurnikan.
Dengan demikian, seorang Pandita, seorang bijak, ia yang berpengetahuan sejati senantiasa menjaga “Budhi-nya” agar tak tergoyahkan.

Yama dan Niyama sering disalah tafsirkan sebagai  ”larangan dan anjuran” , bukan bukan itu artinya. Yama dan Niyama bukanlah peraturan legal atau peraturan berdasarkan kepercayaan tertentu yang bersifat mengikat. Seluruh point, seluruh anjuran yang diberikan dalam semua model Yama dan Niyama yang dikenal, didasarkan pada pilihan pribadi seseorang, seseorang secara sukarela mentaatinya. Ini adalah urusan pilihan pribadi. Tidak ada imbalan surga atau hukuman neraka.

Ahimsa brahmacaryanca satyamavyavaharikam
Astainyamiti pancaite yama rudrena bhasistah

“Ahimsa” atau tanpa kekerasan; “Brahmacarya” atau pengendalian hasrat seksual agar energy yang terhematkan dapat digunakan untuk kegiatan yang lebih kreatif;  “Satya” atau kebenaran;  “Avyavaharika” –non materialisme atau tidak menjadi orang yang materialistis; dan “Asteya” – tidak mencuri atau merampas hak orang lain – inilah lima yama, lima disiplin yang dikumandangkan Rudra, Shiva yang maha membahagiakan, maha cemerlang dan bersuara lantang.

“Ahimsa” yang umumnya diterjemahkan sebagai non-kekerasan mungkin adalah salah satu yama paling universal, yang juga paling sering disalah artikan.
“Ahimsa” bukanlah sekedar urusan menjadi vegetarian dan mengubah diet. Ahimsa adalah program komplit untuk mempraktekan non-kekerasan, atau tidak mencelakakan dalam segala hal. Tidak memikirkan pikiran-pikiran penuh kekerasan, atau setidaknya, tidak melayani pikiran-pikiran tersebut, sehingga reda dengan sehingga reda dengan sendirinya.
“Ahimsa” juga berarti menjaga emosi dan ucapan kita. Segala tindakan kekerasan apapun dimulai dari pikiran dan emosi kekerasan. Dari situlah muncul kata-kata keras dan kasar, termasuk kata-kata penuh kebencian, gosip dan lainsebagainya.  Setelahnya itu biasanya muncul tindak kekerasan. Oleh karena itu, seseorang yang ingin mempraktekan disiplin “Ahimsa” ini adalah penting membenahi dahulu lapisan mental dan emosionalnya.

Seorang guru pernah berkata; “ Perhatikan pikiran-pikiran dan emosi-emosi kekerasan di dalam dirimu tanpa melayaninya …!!”

Sebelum mencelakakan orang lain. Pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan emosi tersebut sesungguhnya terlebih dahulu mencelakakan diri kita.

Untuk langsung mempraktekan tanpa kekerasan atau “Ahimsa” pada tataran ucapan dan tindakan, bisa jadi sangat melelahkan. Terlebih lagi kita seringkali hanya menyadari kekerasan yang kita lakukan setelah terlanjur mengucapkan kata-kata penuh kebenciandan melakukan kekerasan. Kita hanya menyadari kesalahan kita, setelah kerusakan terjadi dan menjadi sangat sulit untuk mengembalikan keadaan seperti semula, bahkan untuk memperbaiki kerusakan tersebut, bukan tidak mungkin, tetapi sulit, sangat sulit.
Faktor lain yang tidak kalah penting dari “Ahimsa”, seperti sering diingatkan oleh Mahatma Gadhi, Ahimsa tidak sama dengan kepengecutan. Jangan biarkan seorangpun menyamarkan kepengecutan dirinya sebagai ‘Ahimsa” . Jangan bodohi diri kita dengan menyembunyikan kepengecutan kita di bawah mantel “Ahimsa”.

“Ahimsa” tidak sama dengan tidak menanggapi, ahimsa adalah menanggapi dengan bijak, bukan membalas dengan reaktif dan tendensius, tetapi menanggapi segala tantangan dan situasi.

“Ahimsa” bukan sekedar kata, tetapi adalah gaya hidup, Ahimsa adalah gaya hidup tanpa kekerasan. Oleh karenanya, kita harus cukup bijak untuk memahami nilai-nilai intinya, bukan makna harfiahnya semata.

Keinginan dan Kehilangan

02 Sabtu Apr 2016

Posted by bogi in Dharma

≈ Tinggalkan komentar

“Seorang yg  budiman bertindak sesuai dengan
kedudukannya, tidak menginginkan hal-hal di luar dari
kedudukannya.”

Banyak sekali hal-hal yang pahit dalam kehidupan
Kalau direnungkan secara mendalam, memang karena
manusia menginginkan hal-hal yang tidak ada padanya, menginginkan sesuatu yang belum ada, yang tidak dimilikinya, yang berada di luar jangkauannya, dan KEINGINAN inilah yang menjadi biang keladi segala macam penyakit dan kesengsaraan hidup.

Sesungguhnyalah, bukan hanya bahwa keinginan menjadi biang keladi kesengsaraan hidup. Bahkan keinginan itulah yang membuat kita KEHILANGAN kebahagiaan!

Betapa tidak? Keinginan membuat
mata kita buta terhadap segala keindahan yang telah kita
miliki. Keinginan membuat kita meremehkan dan tidak dapat melihat keindahan yang sudah berada pada kita.

Contohnya :
Biarpun kita telah memegang sebutir buah apel di dalam tangan, namun kalau kita menginginkan buah anggur yang
belum ada, mata kita seperti buta akan kelezatan buah apel yang sudah berada di tangan, menganggapnya tidak enak dan tidak memuaskan dan yang paling memuaskan adalah buah anggur yang kita inginkan, yang belum ada itulah!

Karena itu mari kita mencoba untuk membuka mata dan melihat segala sesuatu yang sudah ada pada kita, melihat keindahannya, tanpa membanding-bandingkan dengan yang belum ada, tanpa membayangkan yang lain-lain, maka kita akan melihat keindahan dan akan terbuka mata kita bahwa sesungguhnya selama ini kita hanya diombang-ambingkan oleh PIKIRAN  kita yang selalu haus akan hal-hal yang belum ada pada kita!

Kitaselalu beranggapan bahwa kebahagiaan berada di sana, yang harus kita kejar-kejar, sama sekali kita tidak pernah mau melihat, apa yang berada di sini, yang SUDAH ADA pada kita.

Kita seperti mengejar-ngejar bayangan kita, biar dikejar
sampai se lama hidup pun tidak akan dapat tersusul, kita tidak pernah mau berhenti dan MENYELIDIKI apa gerangan bayangan itu, lupa bahwa bayangan itu adalah kita sendiri, karena kitalah yang menciptakan bayangan yang kita kejar-kejar itu!

Proses MENYELIDIKI inilah salah satu bentuk yg dilakukan dalam meditasi.

Keagungan Bab II Bhagavad-gītā

02 Sabtu Apr 2016

Posted by bogi in Dharma

≈ Tinggalkan komentar

Keagungan  Bab II  Bhagavad-gītā
(menurut Padma Purāņa)

ŚRĪ VIŞŅU BERKATA,  “Lakşmī yang Kucintai, engkau telah  mendengarkan dari-Ku keagungan Bab Satu Bhagavad-gītā. Sekarang dengarkanlah  dengan seksama, sebab Aku akan menyampaikan kepadamu keagungan Bab Dua.

Suatu ketika di Selatan, di kota Pandharpur, hiduplah seorang Brāhmaņa sangat terpelajar, Devaśyāma namanya. Ia mampu melaksanakan berbagai  jenis upacara korban suci api. Ia pun mengenal makna penting dari menerima tamu. Dengan kegiatan-kegiatannya itu ia berusaha memuaskan semua dewa. Tapi, ia belum merasa bahagia dan damai di hati dan pikirannya. Ia berkeinginan untuk mencapai pengetahuan tentang hubungan sang roh dengan Roh Yang Utama, Paramātmā dan untuk mencapai tujuan ini ia  mengundang banyak yogi dan tapasvi dan melakukan berbagai pelayanan kepada mereka serta bertanya kepada mereka tentang Kebenaran Mutlak. Dengan cara demikianlah ia menjalani kehidupannya.

Suatu hari, saat sedang berjalan-jalan, ia melihat seorang yogi di hadapannya, duduk bersila dengan mata mantap menatap ujung hidung, khusuk sepenuhnya dalam meditasi. Devaśyāma dapat mengerti bahwa yogi ini telah seutuhnya damai, dan tidak memiliki keinginan-keinginan duniawi apa pun. Devaśyāma, dengan sikap sangat hormat, bersujud di kaki yogi tersebut,  dan bertanya padanya, bagaimana dirinya dapat mencapai  kedamaian pikiran yang sempurna. Ketika itu,  sang yogi yang telah memiliki pengetahuan lengkap  tentang Personalitas Tuhan  Yang Maha Esa, Śrī Kŗşņa, menyarankan agar Devaśyāma pergi ke desa Sowpur untuk menemui seseorang bernama Mitravān, yang bermata pencaharian sebagai pengembala kambing, dan menerima petuah-petuah mengenai ilmu pengetahuan keinsafan Tuhan darinya. Setelah mendengar saran tersebut, Devaśyāma berulang-ulang bersujud di kaki yogi itu dan segera berangkat menuju Sowpur. Ketika tiba di sana, ia melihat di arah utara terdapat sebuah hutan indah, dan diberitahukan kepadanya bahwa Mitravān tinggal di sana. Ketika ia memasuki hutan itu, ia melihat Mitravān sedang duduk di atas bebatuan di tepi sebuah sungai kecil.

Mitravān tampak sangat rupawan dan damai. Di hutan itu angin bertiup sangat lembut, dan aroma wangi memancar dari segala penjuru. Kambing-kambing berkeliaran dalam rasa damai, tanpa rasa takut sama sekali. Beberapa kambing nampak duduk di sebelah macan-macan dan binatang buas lainnya dengan sangat tenang.

Ketika Devaśyāma melihat pemandangan ini, pikirannya menjadi sangat damai, dan dengan sikap penuh hormat ia mendekati Mitravān lalu duduk di dekatnya. Mitravān nampak sangat khusuk dalam meditasi. Setelah beberapa saat, Devaśyāma bertanya kepadanya, bagaimana ia dapat mencapai bhakti kepada Śrī Kŗşņa?  Ketika Mitravān mendengar pertanyaan ini, selama beberapa saat ia larut dalam perenungan yang mendalam. Lalu ia menjawab, “Devaśyāma yang baik, suatu ketika aku sedang berada di hutan mengawasi kambing-kambing, ketika seekor macan buas menyerang. Ketika itu kambing-kambing berlarian menyelamatkan diri, Aku pun lari karena takut pada macam itu. Dari jarak tertentu Aku menoleh kebelakang dan melihat macan itu di tepi sungai ini menghadang salah satu kambing milikku. Ketika itu hal yang aneh dan menakjubkan terjadi.
Macan itu  kehilangan segala kebuasan dan keinginannya untuk memangsa kambing milikku. Karena itu, kambing itu bertanya kepada macan, “Engkau telah mendapatkan santapanmu, lalu mengapa engkau tidak memakan daging dari badanku ini? Mestinya engkau segera membunuhku, dan dengan sangat berselera menikmati daging badanku. Mengapa engkau menahan diri?

Macan itu lalu menjawab, “Wahai kambing yang baik, begitu sampai di tempat ini, segala kemarahan telah meninggalkan diriku, dan aku merasa lapar atau pun haus.” Kambing itu berkata, “Aku juga tidak tahu, mengapa aku merasa tidak takut sama sekali dan aku merasa nyaman. Apa penyebab semua ini? Jika engkau mengetahuinya, maka berkenanlah menyampaikannya kepadaku.”

Macan itu menjawab, “Aku juga tidak tahu. Mari kita tanyakan pada orang itu,” Ketika melihat perubahan terjadi dalam hal perilaku macam dan kambing itu, aku merasa sangat heran. Ketika itu mereka berdua mendatangi diriku dan menanyakan penyebab semua ini. Aku memperhatikan bahwa ada seekor kera sedang duduk di cabang sebatang pohon di dekat sana. Aku pergi bersama kedua binatang itu untuk bertanya kepada raja kera itu. Kera itu lalu menjawab pertanyaan kami dengan sikap penuh hormat.

“Dengarkanlah, aku akan ceritakan kepada kalian sebuah kisah yang sangat tua. Di hutan itu, tepat di hadapan kalian terdapat sebuah kuil yang sangat luas tempat Dewa Brahma men-sthana-kan sebuah Śivalińga. Dahulu kala seorang resi yang sangat terpelajar bersama Sukāma, yang telah menjalani banyak pertapaan, tinggal di sana. Setiap hari dia memetik bunga dari hutan dan air dari sungai itu, lalu memuja Dewa Śiva.

Dengan cara demikianlah ia tinggal di sana selama bertahun-tahun, sampai kemudian seorang resi tiba di tempat itu. Ketika itu, Sukāma  menghidangkan buah-buahan dan air untuk resi tersebut. Setelah sang resi makan dan beristirahat, Sukāma menyampaikan kepdanya, “Wahai orang bijak, hanya untuk mencapai pengetahuan tentang Śrī Kŗşņa aku tinggal di sini, menjalani pertapaan dan pemujaan. Tetapi, hasil dari pertapaan- pertapaanku telah tercapai pada hari ini dengan cara bergaul dengan dirimu.”

Ketika sang resi mendengar ucapan Sukāma yang penuh dengan sikap rendah hati itu, ia menjadi sangat puas. Ia lalu menuliskan Bab Dua Śrīmad Bhagavad-gītā di atas sebongkah batu. Ia lalu memerintahkan agar Sukāma membaca śloka-śloka itu setiap hari. “Dengan melakukan hal ini, engkau akan cepat sekali mencapai tujuanmu.” Setelah berkata demikian, resi tersebut menghilang dari tempat itu. Selanjutnya Sukāma mematuhi perintah sang resi, Sukāma membaca śloka-śloka itu setiap hari sepanjang sisa hidupnya. Cepat sekali ia mencapai pengetahuan lengkap tentang Śrī Kŗşņa. Sejak hari, saat ia memulai mengucapkan śloka-śloka itu, ia tidak lagi merasakan dahaga dan lapar.

Disebabkan oleh pertapaan dan bhakti-nya di tempat ini, sipa pun yang datang ke sini tidak dirasuki oleh rasa lapar dan haus, dan langsung mencapai kedamaian sempurna.”

Mitravān berkata, “Devaśyāma yang baik, seusai kera tersebut menyampaikan kepada kami kisay yang menakjubkan itu, aku bersama macan dan kambing itu kembali ke kuil. Kami  menemukan di sana Bab Dua Bhagavad-gītā tertulis di atas sebongkah batu. Lalu aku pun memulai mengucapkan śloka-śloka itu setiap hari. Dengan cara demikian, kami dapat dengan cepat sekali mencapai rasa cinta-bhakti kepada Śrī Kŗşņa. Wahai brāhmaņa yang baik,  Jika engkau juga mulai mengucapkan çloka-çloka dari Bab Dua Śrīmad Bhagavad-gītā, engkau akan cepat sekali mencapai karunia Śrī Kŗşņa.”

ŚRĪ VIŞŅU BERKATA, “Lakşmī yang Kucintai, dengan cara demikianlah Devaśyāma memperoleh pengetahuan dari Mitravān dan setelah mempersembahkan pemujaan pada insan agung itu, ia kembali ke Pandhapur dan setiap hari mengucapkan Bab Dua Bhagavad-gītā. Kepada siapa pun yang mengunjungi Pandhapur, Devaśyāma pertama-tama akan membaca dihadapnnya Bab Dua Śrīmad Bhagavad-gītā. Dengan cara itu ia mencapai kaki padma Śrī Kŗşņa.

Lakşmī yang Kucintai, inilah  keagungan Bab Dua dari Śrīmad Bhagavad-gītā.”

Agama dan Kitab Suci

02 Sabtu Apr 2016

Posted by bogi in Dharma

≈ Tinggalkan komentar

Ini kisah tentang sebuah tempat suci dimana terdapat gentong besar yang berisi banyak air bersih untuk diminum dan membersihkan diri.

Suatu hari ada seseorang dengan tubuh kotor berlumpur mengambil gayung dan membersihkan diri dengan air itu. Setelah cukup lama, ia pun kini tampil segar dan bersih, sedangkan air dalam gentong tetap jernih dan tetap bisa dipakai membersihkan diri oleh pengunjung lainnya.

Namun suatu hari yang lain, seseorang yang tubuhnya kotor penuh lumpur mendekati gentong lalu mencelupkan diri dan berendam di dalamnya.  Air gentong tentu saja menjadi keruh.  Dan saat keluar dari dalam gentong, tubuhnya tak benar-benar bersih.

Esok harinya ia melakukan hal yang sama, hingga air dalam gentong menjadi kian keruh bercampur lumpur.  Tentu saja orang itu tak pernah lagi keluar dalam keadaan bersih, karena kini ia berendam dalam  gentong yang airnya telah kotor oleh lumpur yang dibawanya sendiri.

Melihat itu, seekor angsa putih yang saban hari menikmati air yang menetes dari gentong pun berbisik;

“Seperti itulah agama dan kitab suci, Manu.  Semestinya agama dan kitab suci dihadirkan untuk membersihkan hati dan menyucikan kembali Jiwa-Jiwa manusia yang mandi dengan kejernihan pengetahuan di dalamnya.”

“Namun saat ada orang-orang yang memasukkan kekotoran batinnya sendiri ke dalam ajaran agama dan kitab suci itu, maka selama apa pun ia berendam di dalam ajaran dalam kitab suci, ia akan makin mengotori kitab suci dan dirinya sendiri.”

“Sayangnya, orang-orang berikutnya yang memandikan diri dengan pengetahuan yang telah dikotori oleh pembenaran ego itu akhirnya ikut terimbas oleh kekotoran yang terlanjur bercampur ke dalam ajaran dan kitab suci yang awalnya jernih dan murni tadi.”

Angsa putih itu berhenti bicara dan kini asyik memisahkan lumpur dari air yang diminumnya.

Karma dari Sebuah Permen

02 Sabtu Apr 2016

Posted by bogi in Dharma

≈ Tinggalkan komentar

Seorang lelaki tua terbaring lemah di sebuah rumah sakit. Seorang pemuda datang menengoknya setiap hari dan menghabiskan waktu berjam-jam bersama lelaki tua itu. Pemuda itu menyuapinya, membersihkan badannya, dan membimbingnya berjalan-jalan di taman, lalu membantunya kembali berbaring. Pemuda itu baru pergi setelah merasa bila lelaki tua itu sudah bisa ditinggal.

Suatu ketika perawat yang datang memberi obat dan memeriksa kondisi orang tua itu berkata, “Bapak punya anak yang berbakti. Setiap hari ia datang untuk mengurus Bapak. Sungguh beruntung ya, Pak.”

Lelaki tua itu memandang perawat itu sejenak, lalu memejamkan kedua matanya. Dengan nada sedih, lelaki tua itu berkata, “Saya berangan-angan, seandainya ia adalah salah seorang anak saya. Ia adalah anak yatim yang tinggal di lingkungan tempat tinggal kami. Dulu sekali, saya melihatnya menangis setelah kematian ayahnya. Saya pun menghiburnya, dan membelikan permen untuknya. Setelah itu saya tidak pernah lagi berbincang dengannya.

Kemudian ketika ia tahu kalau saya dan istri hanya tinggal berdua saja, ia pun berkunjung setiap hari untuk memastikan kami baik-baik saja. Ketika kondisi fisik saya mulai menurun, ia mengajak saya dan istri saya tinggal di rumahnya, lalu secara rutin membawa saya ke rumah sakit untuk mengecek kondisi kesehatan.

Saya pun pernah bertanya padanya, ‘Nak, mengapa engkau menyusahkan diri untuk mengurus kami?’ Sambil tersenyum anak itu menjawab, ‘Manisnya permen masih terasa di mulut saya, Pak.’”

Orang yang baik hatinya pasti akan mendapatkan imbalan yang baik pula dari Sang Pencipta. Maka, jangan memikirkan untung/rugi ketika mempunyai kesempatan untuk membantu orang yang perlu bantuan. Lakukan saja perbuatan baik secara spontan, dengan hati yang tulus dan ikhlas karena hukum Tuhan tidak pernah salah. Apa yang kita tanam pasti akan kembali kepada kita pula, bahkan berkelimpahan.

Ego Status

02 Sabtu Apr 2016

Posted by bogi in Dharma

≈ Tinggalkan komentar

Kalau ada yg pernah mendengar atau membaca ataupun menonton filmnya (sekilas di akhir kehidupannya sempat ditayangkan di film serial Mahaputra) Dewi Mira atau Mirabay… seorang putri kerajaan Chitor diabad 15, seorang mistikus dan penyembah sejati…pernah ditolak kedatangannya oleh seorang Guru spiritual bernama Jiva Gosain dg alasan “tradisi” , saat mau masuk padepokan Jiva .. murid2 Jiva mengatakan “Maaf, guru kami tidak pernah bertemu dg perempuan” memang pembatasan seperti itu sering dilakukan seorang Guru karena berguna meminimakan risiko ketersesatan dan godaan… bagi seorang pemula seperti kita, disiplin diri memang sangat penting. Tidak ada yg salah dg disiplin diri dan pembatasan pergaulan. Yang salah adalah Jiva Gosain tidak mencari tahu tentang latar belakang tamunya. “Terkesan” Jiva Gosain meremehkan Mira .. karena di era itu hampir mustahil Jiva tidak pernah mendengar tentang Mira dan latar belakang Mira sang penyembah Sejati.. yg mendedikasikan hidupnya sebagai pencinta dan penyembah Krishna.. seorang putri yg meninggalkan istana untuk mengembara sebagai nomad spiritual, sebagai pertapa, sanyasi atau apapun juga sebutannya.. kesalahan Jiva Gosain adalah menganggap Mira sebagai “perempuan” saja, melihat raganya saja, tidak melihat Jiwa mira… Jiva Gosain sebagai guru spiritual dg banyak pengikut telah menjadi korban EGO STATUS … memang adakalanya seorang penembah, rohaniwan, atau pemandu seperti Jiva pun terbebani oleh ego status “Aku seorang guru, seorang yg terpandang, aku memiliki sekian banyak murid, apa kata orang bila aku bertemu dg guru lain? Mereka bisa berpikir bahwa aku masih ‘mencari’ , masih mengejar sesuatu, masih belajar. Mereka bisa beranggapan bahwa aku belum menemukan, aku belum ‘tercerahkan’ . Tidak, aku tidak perlu bertemu dg mereka.
Inilah Ego status, dan ego semacam ini memang sulit ditaklukkan karena menyangkut identitas palsu. Ego terkini..
Ego lama kita sdh ditaklukkan oleh meditasi dan berbagai macam pelatihan rohani dan pendidikan serta yg lainnya..
Sekarang bila kita tidak hati-hati muncul ego versi baru “Aku seorang meditator, aku spiritualis” apalagi jika sudah ada beberapa orang yg menyebut kita ‘Guru’  semakin kuatlah ego palsu itu..
Kembali ke cerita Mira, Mira menulis surat kepada Jiva Gosain : “Setahu saya, hanya ada seorang lelaki di alam semesta ini, yaitu Krishna sng Lelaki Agung, Parama Purusha, tiada lelaki lain kecuali dia.. bukankah kita, para penembah dan pencintanya ini adalah sama-sama perempuan semuanya?”
Jiva Gosain tercerahkan… jangan melihat Mira dg kacamata Jender.. Jender adalah urusan raga, fisik, jasmani. Urusan Mira adalah urusan jiwa, Rohani.
Akhirnya Jiva Gosain tercerahkan .. terjadilah pertemuan indah sesama penembah : Jiva Gosain dan Dewi Mira.
Belajar dati pengalaman tersebut, marilah kita melakukan introspeksi diri “Apakah saya telah menjadi korban ego status serupa?”
Semoga tidak… it is always wise to prevent ..

Jnani, Karmi, dan Bhakta

02 Sabtu Apr 2016

Posted by bogi in Dharma

≈ Tinggalkan komentar

Apa yang katakan dan disarankan oleh Shrii Shrii Anandamurti tentang Jnani, Karmi, dan Bhakta?
Parama Tattva adalah seperti pepohonan mangga yang rindang. Selanjutnya tiga orang : Jnani (pelaku Jnana yoga), Karmi (pelaku karma yoga) , dan Bhakta (pelaku bhakti yoga) mendekati pohon mangga itu… apa yg akan dilakukan Jnani? Ia akan menghitung berapa banyak daun dan buah yg ada d pohon mangga, sementara Jnani menghitung daun dan buah mangga, seorang Karmi akan memanjat dan menyentuh buah, daun dan bunga mangga, dan apa yg dilakukan seorang Bhakta?  Bhakta akan menikmati buah mangga dan merasakan manisnya mangga. Kemudian apa yg terjadi di malam hari? Para bhakta selesai menyantap semua mangga, Jnani dan Karmi akan ribut bertengkar ….
Ada begitu banyak kitab suci. Weda dan purana, ada begitu banyak buku, diakui atau tidak diakui.. para jnani akan bertengkar berdebat diantara mereka sendiri mengenai tata bahasa, hasanta maupun visarga, dari sloka-slokanya. Dan apa yg dilakukan karmi?  Mereka tidak akan berdebat tetapi mereka bekerja seperti lembu pemutar mesin pemeras minyak atau seperti manusia mendorong tuas penggilingan tahu. Mereka bergerak lebih seratus mil perhari.. tapi tidak ada kemajuan. Semua gerakan mereka terbatas pada ruangan tertentu itu saja. Ya Karmi seperti itu.
Tapi apa yg dilakukan Bhakta? Kitab-kitab suci seperti lautan ksirarnawa lautan susu.. mereka akan mengaduk lautan itu.  Setelah diaduk apa yang didapat mereka? Mentega dan dadih…lalu sang Bhakta akan menyantap menteganya, lalu di malam hari Jnani dan Karmi akan bertengkar mengenai siapa yg berhak atas dadih sisanya….
Maka saran Shrii Shrii Anandamurti, jadilah seorang Bhakta…!!!

Menurut konsep Ananda Marga, seorang Jnani, tujuannya adalah sesuatu yang impersonal. Tuhan adalah sesuatu yang impersonal, sesuatu yang teoritis, sehingga pendekatan yang dilakukan adalah analitis.. pemahaman analitis tentang Maha Purusha adalah penggabungan Energy murni dan Kesadaran murni, yang dalam penggabungan yg stabil semua benda tidak ada yang berbeda alias Sunya.. kosong tapi penuh.. nanti ini menjadi konsep awal creation dalam pemahaman jnana tantra…..
contoh seorang Jnani adalah Albert Einstin .. (rumus relativitas Einstin sangat selaras dgn Janana tantra E=mc dikwadratkan), seorang jnani butuh kemampuan intelektual tertentu. Sementara bagi seorang “karmi” tuhan bukanlah pribadi dan bukan pula impersonal atau sebaliknya tapi mempertahankan kaitan antar keduanya .. seorang karmi akan melakukan perbuatan sebaik mungkin untuk mengubah kondisi psikisnya dg perlakuan phisik nya untuk pendekatan pada Maha Purusha.. butuh stamina fisik tertentu…
Anandamurti mengatakan, dalam kehidupan seorang karmi pengalaman frustasi lebih sedikit dibandingkan dengan yang dialami seorang Jnani. Tapi dalam kehidupan seorang Bhakta, tuhan adalah suatu pribadi, bapaknya sendiri, roh dari jiwanya sendiri.
Kehidupan manusia terbatas. Manusia datang ke dunia ini untuk waktu yang sangat singkat. Jika dalam waktu yg sangat singkat ini orang mencoba untuk mempelajari seluruh kitab suci weda, maka ini akan memakan waktu lebih dari 100 tahun, sementara kehidupan manusia tidaklah sampai segitu.. jadi menyusuri jalan Jnana “secara murni” hanya menghabiskan waktu dan eksistensi kita sepanjang hidup… selanjutnya karma sendiri tidak ada batasnya, sedangkan struktur manusia adalah sesuatu yang terbatas, memiliki stamina dan kapasitas yg terbatas. Jadi … jalan Bhakti sebagai seorang Bhakta tidak hanya tidak beresiko, tapi adalah pilihan yang bijaksana dan merupakan pendekatan dari orang cerdas. Inggih begitu kiranya.. tetapi dalam kenyataannya Jnana dan karma diperlukan dalam melakukan Bhakti…. pranam

Swami, Shishya, dan Gurudev

02 Sabtu Apr 2016

Posted by bogi in Dharma

≈ Tinggalkan komentar

Kutipan tulisan Swami Shivananda Saraswati (1887-1963) dalam karyanya berjudul : “Guru Tatwa” yang dikutip oleh Anand Krishna:
“I told Venkatesanandaji, when I was at Roorkee:
‘Don’t always refer me as Gurudev, in your talk;
Just say Swamiji, that will do.”
“He said: ‘if I say Swamiji, it does not express the Bhav (innermost feeling) of my heart;
It creates an illusion of equality with Gurudev.’
Then I allowed him to continue to refer to me as Gurudev.”

Kita harus memahami latar belakang dari percakapan di atas, antara seorang SADGURU dan SHISHYA.
Ketika seorang shishya memasuki sanyas ashram, tahap kehidupan di mana ia berkomitment dengan dirinya untuk menerima seluruh umat manusia sebagai keluarganya, maka ia diberi gelar “Swami” oleh sang Sadguru. “Swami” berarti ‘ia yang telah mengendalikan dirinya’ . Swami bukanlah gelar kehormatan. Swami adalah gelar “peringatan” supaya si penyandang selalu mengingat komitmentnya.
Saat pemberian gelar itu, secara teknis seorang Shishya adalah sama derajatnya dengan sang Sadguru. Dua-duanya adalah ‘Swami’. Tidak ada sebutan Swami kecil suami junior dan swami besar, swami senior. Sebab itulah, Swami Shivananda mengingatkan seorang Shishya yang telah memasuki sanyas ashram, “sudahlah kau tidak perlu menyebutku Gurudev lagi, sebut saja swami.
Sang shishya dalam hal ini Swami Venkantesananda, keberatan: “sebutan ‘swami’ tak mampu mengungkapkan perasaanku terhadap Sadguru. Malah memunculkan ilusi seolah aku sudah sejajar dengan Sadguru. Biarlah aku tetap menebutmu ‘Gurudev’.
Pikiran Venkatesananda jernih, sebab itulah dia mampu menolak ‘Ilusi kesejajaran dengan Sadguru’. Tidak mudah menolak ilusi demikian.
Banyak siswa non-shishya tidak sabar menunggu.. walaupun pelita diri dan jiwanya belum menyala, sudah cepat-cepat memproklamirkan diri sebagai guru. Mereka tidak menolak ilusi, malah merangkulnya dengan senang hati.
Banyak guru setengah matangseperti itu…
Contohlah Venkatesananda, jangan sampai seperti Jiva Gosain yang tdk mengenali seorang Dewi Mira karean berjubah fisik seorang perempuan, atau beratribut berbeda dari atribut yg sdh anda kenal.
Jiva Gosain sungguh beruntung, ia menyadari kesalahannya, kekhilafannya, dan mendatangi Dewi Mira. Tidak semua orang seberuntung dia.
Adakalanya setelah menerima teguran, kita malah memasang kuda-kuda untuk melindungi diri. Kita tidak mau kehilangan muka.
Mari kita belajar rendah hati dan tidak terjebak ilusi palsu dh keangkuhan dan ego spiritual yg palsu…pranam…

← Older posts
Newer posts →

Berlangganan

  • Entries (RSS)
  • Comments (RSS)

Arsip

  • Januari 2023
  • Februari 2022
  • Juli 2021
  • Mei 2021
  • Maret 2021
  • Januari 2021
  • Desember 2020
  • Juni 2020
  • April 2020
  • Februari 2020
  • Oktober 2019
  • Maret 2019
  • Februari 2019
  • Januari 2019
  • November 2018
  • Oktober 2018
  • Agustus 2018
  • Juni 2018
  • Maret 2018
  • Februari 2018
  • Desember 2017
  • November 2017
  • Oktober 2017
  • September 2017
  • Agustus 2017
  • Juli 2017
  • Juni 2017
  • Mei 2017
  • April 2017
  • Maret 2017
  • Februari 2017
  • Januari 2017
  • Desember 2016
  • November 2016
  • Oktober 2016
  • September 2016
  • Agustus 2016
  • Mei 2016
  • April 2016
  • Januari 2016
  • Desember 2015
  • November 2015
  • November 2014
  • Oktober 2014
  • September 2014
  • Agustus 2014
  • Juni 2013
  • Mei 2013
  • April 2013
  • Februari 2013
  • Januari 2013
  • November 2012
  • Maret 2012
  • November 2011
  • Oktober 2011
  • Agustus 2011
  • Juli 2011
  • Juni 2011

Kategori

  • Dharma
  • Materi Ajar
    • Artificial Intelligence
    • IT audit
    • microprocessor
    • Multimedia System
  • Seputar IT
    • FreeBSD
    • OSS
  • sosialita
  • Teknologi
  • Uncategorized

Meta

  • Daftar
  • Masuk

Blog di WordPress.com.

  • Ikuti Mengikuti
    • kn-OWL-edge
    • Bergabunglah dengan 68 pengikut lainnya
    • Sudah punya akun WordPress.com? Login sekarang.
    • kn-OWL-edge
    • Sesuaikan
    • Ikuti Mengikuti
    • Daftar
    • Masuk
    • Laporkan isi ini
    • Lihat situs dalam Pembaca
    • Kelola langganan
    • Ciutkan bilah ini