Beberapa hari lalu di sebuah grup chat dosen (iya, dosen juga doyan ngerumpi lho, apalagi ngerumpiin mahasiswa 🙂 ), ada dosen yg mengeluhkan mahasiswa sekarang yang dianggapnya tidak mandiri. Dia membandingkannya dengan jaman dia menjadi mahasiswa, kalau dulu mahasiswa yg aktif mencari informasi ke berbagai sumber tapi sekarang mahasiswa maunya langsung nanya ke dosen. Misalnya untuk nanya “besok hari Senin harus pakai pakaian apa buat ujian?” mahasiswa langsung nanya ke dosen wali, padahal di aturan yg dikeluarkan oleh kampus sudah jelas yaitu pakai seragam. Tapi mahasiswa tetap berargumen “saya belum punya seragam karena selama ini tidak ada kuliah di hari Senin dan saat dicari ke koperasi katanya sudah habis stoknya” 🙂
Awalnya saya juga menyetujui pernyataan rekan dosen tersebut, karena saya sendiri sebagai dosen wali cukup banyak waktu yg dipakai untuk melayani pertanyaan dari mahasiswa wali. Pertanyaannya sangat beragam, mulai dari aturan berpakaian yg berlaku di kampus, aturan studi akademik di kampus, aturan perkuliahan di kampus, aturan kemahasiswaan di kampus, aturan beasiswa di kampus, sampai tanya2 tempat nongkrong yg asyik di Bandung 🙂
Pikiran saya baru tersentak ketika rekan dosen yg sama mengeluhkan mahasiswanya yg tidak disiplin, spt kehadiran di kelas yg terlambat, tidak mengucapkan salam pada dosen yg berpapasan, sampai pakaian yg tidak seragam.
Premise 1: Mahasiswa diminta untuk mandiri
Premise 2: Mahasiswa kuatir dengan aturan kampus yang sangat banyak
Premise 3: Mahasiswa tidak disiplin
Kalau dilihat dari 3 premise tsb, terlihat jika mahasiswa sebenarnya banyak bertanya tentang aturan karena takut tidak tau aturan mana yg dilanggar. Sebaliknya aturan kampus yang sangat banyak justru membuat mahasiswa menjadi tidak mandiri karena mereka diperlakukan sebagai objek yg patut dicurigai akan melanggar aturan dgn berbagai alasan 😀
kata kunci untuk teks kali ini adalah: fleksibel vs. rigid
Fleksibel berarti kita membuat aturan yang cukup memberi garis batas antara “boleh” dan “tidak boleh” namun masih banyak ruang bagi mahasiswa berkreasi dan berinovasi. Ambil contoh seragam, dari dulu memang kampus Telkom terkenal dengan seragamnya (dulu putih biru spt seragam SMP dan sekarang putih merah tua spt seragam…..). Jika aturannya menyebutkan “hari Senin wajib menggunakan seragam dengan atribut bebas rapi” maka mahasiswa bisa menambah dgn scarf atau sepatu warna untuk tampil modis. Contoh lainnya adalah syarat kehadiran di kelas minimal 75%, kurang dari angka tsb berarti tidak boleh mengikuti ujian akhir semester (UAS). Aturan ini memberikan persepsi pada mahasiswa bahwa mereka boleh “membolos” sebanyak 3x pertemuan. Andaikan aturannya dibuat menjadi “kehadiran di kelas disesuaikan dengan kemampuan setiap mahasiswa yang diukur oleh dosen” maka dosen bisa memberikan pre-test di awal kelas, jika memang mahasiswa-nya sudah menguasai materi, mereka bisa dipersilahkan untuk fokus ke mata kuliah lainnya.
Kita berharap mahasiswa bisa berkreasi dan berinovasi agar bisa mandiri dalam belajar dan melakukan penelitian, tapi di sisi lain kita membuat aturan yg memperlakukan mahasiswa sebagai robot dan membuat mahasiswa sulit untuk bergerak bebas 🙂
Jadi teringat dengan salah satu petuah dari senior yg saya hormati:
Jangan membuat aturan yg kita tidak bisa menjadi polisinya
Selamat belajar dan meneliti, semoga dengan aturan yg sedemikian banyak tetap tidak menghalangi semangat teman2 mahasiswa untuk berkreasi dan berinovasi.