Pada suatu hari Minggu, saya mengajak anak yang berumur 4 tahun ke suatu taman di Bandung yang memang terbuka untuk publik. Taman-nya indah, banyak bunga anggrek yang sengaja dipajang untuk membuat pengunjung betah berlama2 untuk berjalan2 menikmati segarnya udara di tempat tersebut. Di pusat dari taman ada tempat duduk yg dikelilingi oleh puluhan bunga anggrek dan juga berbagai bunga, khusus untuk mereka yang sudah lelah berjalan kaki. Di lokasi tempat duduk tersebut terdapat sebuah sign atau penanda bahwa di tempat tersebut tidak boleh mengonsumsi makanan dan minuman.
Tapi ternyata di pagi hari, ada keluarga yg membawa bayi-nya duduk di tempat tersebut sambil memberi makan bayi-nya. Anak saya pun langsung berujar “Pa, kok mereka makan di tempat ini? kan ada tanda dilarang makan”
Saya pun menjawab “nda papa ya, kan adeknya masih bayi”
Saya menduga percakapan akan berhenti sampai disana, tapi ternyata anakku tetap bertanya “tapi kan aturan dibuat untuk diikuti pa”
Akhirnya saya jadi tercenung, saya yg menganggap diri sudah dewasa sering kali merasa lebih bijaksana karena bisa memberikan kompromi terhadap pelanggaran aturan spt itu dan akibatnya saya jadi meremehkan anak sendiri yang hanya mengenal hitam dan putih, benar dan salah. Kompromi menyebabkan kita menambahkan area baru, yaitu gray area dimana sesuatu yg salah kita benarkan karena merasa tidak enak menegur, merasa tidak pada tempatnya mengganggu privacy orang lain, merasa takut untuk membuat orang lain jadi tersinggung.
Sepertinya saya harus banyak belajar lagi dari anak saya sendiri, bahwa benar adalah benar, dan salah adalah salah. Tidak ada lagi gray area. Tidak ada lagi kompromi atas suatu pelanggaran aturan.
Terima kasih anakku, telah mengingatkan hal penting ini, hal penting yg dulu juga diajarkan kepada saya saat kecil tapi seiiring dgn bertambahnya usia akhirnya justru nilai2 tersebut menjadi menghilang.