• About Author
  • Dharma
  • Materi Ajar
    • Algoritma dan Pemrograman
    • Boolean Algebra
    • Microprocessor and Arduino
    • Network Security
    • New Generation Network
    • Software-defined Network
  • Membangun Server dengan FreeBSD
  • Programming Sector
  • Sosialita
  • Survival Guide

kn-OWL-edge

~ knowledge is power and weapon

kn-OWL-edge

Tag Archives: google

Konten porno di WhatsApp? Di Google lebih parah kok

09 Kamis Nov 2017

Posted by bogi in Seputar IT, Teknologi

≈ Tinggalkan komentar

Tag

google, nawala, porno GIF, regex, telegram, tenor.com, whatsapp, wordfilter

Sudah cukup lama pakai WhatsApp, semenjak GoogleTalk dilikuidasi dan diganti jadi Hangout, langsung beralih ke WhatsApp. Selain WhatsApp saya juga pakai Telegram, sempat pakai BBM dan Line tapi cuma sebulan trus saya hapus. Alasannya karena BBM terasa berat berjalan di hape dg RAM 1GB dan juga karena hampir nda ada rekan kerja atau mahasiswa yg pakai BBM. Kalau Line? Bosen denger bunyi notifikasi yg isinya cuma berita2 gaje  🙂

Beberapa hari ini pada ngeributin adanya konten porno di WhatsApp. Konten porno yg dilaporkan tsb disediakan dalam format GIF namun tidak disediakan langsung oleh WhatsApp, melainkan oleh Tenor. Hal ini terlihat saat kita klik tombol GIF maka akan muncul tulisan “Search GIFs via Tenor”.

Kenapa WhatsApp menggunakan jasa pihak ketiga untuk menyediakan konten emoji GIF? Banyak alasannya sih, bisa karena alasan bisnis, efisiensi, atau bisa juga karena hanya malas 🙂 Iya, bikin GIF yg bagus itu nda gampang lho, harus sering nonton film agar bisa mencari ekspresi yg sesuai untuk suatu emosi tertentu.

search GIFs via Tenor

Kemarin sempat akses ke Tenor diblok, sehingga saat klik tombol GIF yg muncul “Check your phone’s Internet Connection and try again” karena akses ke Tenor ditutup oleh ISP sesuai instruksi pemerintah. Namun saat ini emoji GIF dari Tenor sudah bisa digunakan lagi karena memang sudah diperbaiki.

Tapi apakah memang benar sudah diperbaiki?

Kalau dicoba, kita sudah tidak bisa lagi search dgn keyword “sex” atau “lesbian”, karena hasilnya adalah “Search return no result”. Namun kalau kita hanya mengetikkan “se” atau “les” beberapa emoji GIF yg sebelumnya diblock ternyata masih muncul.

Kesimpulannya?
Sepertinya Tenor mengaktifkan keyword filtering, jadi jika ada yg menuliskan keyword “sex” dan “lesbian” maka Tenor akan langsung memblokirnya dan memberikan hasil search yg kosong. Tapi jika yg diinputkan adalah “se” atau “les” maka Tenor tidak menganggapnya sbg kata terlarang sehingga beberapa gambar GIF masih tetap muncul.

Teknologi keyword filtering ini sering disebut dengan wordfilter yang hanya membatasi kata demi kata tanpa peduli dengan konteksnya (topik pembicaraan). Sebagai contoh, saat dulu masih suka ngulik2 Squid sbg proxy server, kita bisa membatasi akses user berdasarkan kata terlarang (bad word). Misalnya kita masukkan kata “sex” sebagai kata terlarang, maka jika user browsing ke suatu situs yg ada frase “sex”-nya maka akses ke situs tsb akan diblokir. Padahal mungkin saja frase “sex” tsb adalah untuk mengirimkan form yg menanyakan jenis kelamin kita (male atau female).

Teknik wordfiler yg lebih canggih adalah regex atau regular expression, dimana pembatasan akses tidak hanya berdasarkan kata terlarang, tapi juga melihat konteks atau isi dari informasi lengkapnya. Misalnya suatu situs membahas tentang sextan, suatu alat navigasi untuk mengukur jarak antara 2 benda. Kata “sextan” mengandung frase “sex” yg jika menggunakan wordfilter sederhana maka akan langsung diblok, namun dgn menggunakan regex maka akses ke situs tsb akan dibuka karena sextan tidak terkait dengan “sex”.

Kembali ke WhatsApp.
Bagaimana caranya agar emoji GIF yg tidak pantas tadi bisa ditutup sepenuhnya?
Jawabannya cuma bisa dilakukan oleh Tenor. Tenor harus mau mengkategorikan dan merating emoji-nya. Spt misalnya mana yg konten dewasa dan mana yg konten remaja, dan mana yg konten semua umur.
Dengan adanya kategori dan rating tersebut, WhatsApp atau pengguna jasa Tenor bisa membatasi akses ke emoji tertentu.

Apa alternatif dari WhatsApp agar terhindar dari emoji GIF yg tidak pantas tsb?

Telegram?
sama saja, kita bisa mencari emoji GIF di Telegram yg tidak pantas untuk dikonsumsi anak2.

Kemarin ada yg mengatakan “ngapain ngeributin porn GIF di WhatsApp? di Google lebih parah tuh”. Seharusnya kita tidak membandingkan kasus WhatsApp dengan Google. WhatsApp melalui Tenor menyediakan konten-nya langsung, sementara Google hanya mengindex (menyimpan metadata) gambar2 yg disimpan di tempat lain. Jadi menurut saya kita nda bisa menyalahkan Google yg menyimpan gambar porno, karena Google tidak menyimpannya. Tapi kita bisa menggunakan fitur “Send Feedback” yg disediakan Google untuk melaporkan gambar2 yg tidak pantas. Selain itu, kita bisa memanfaatkan layanan DNS Nawala untuk memblokir akses ke situs2 yg tidak pantas. Tetap muncul di Google, tapi begitu linknya diklik akan diblokir oleh Nawala.

google send feedback

Internet sehat dan bersih  🙂

Don’t Profile Me !

01 Jumat Sep 2017

Posted by bogi in Seputar IT, sosialita

≈ Tinggalkan komentar

Tag

chrome, google, internet user profile, no strings on me, privacy policy, say no to profiling, telegram

Google Privacy Policy

Telegram Privacy Policy

Pernahkah anda mengalami sedang browsing tentang suatu universitas, lalu seluruh iklan di berbagai website tiba2 menawarkan berbagai universitas dan beasiswa?

Pernahkah anda mengalami sedang membaca email penawaran tentang suatu properti, lalu seluruh iklan di berbagai website tiba2 menawarkan berbagai properti dan bank yg menawarkan pinjaman KPR?

Pernahkah anda mengalami sedang berada di suatu tempat, lalu ada notifikasi di hape anda untuk meminta anda memberi nilai pada tempat tsb?

Ketiga peristiwa tersebut menunjukkan bahwa ada gurita yang bernama Google sedang melakukan profiling terhadap anda. Profile berarti melakukan klasifikasi diri anda dan memasukkan anda pada suatu kategori tertentu. Tujuannya adalah untuk memberikan experience yg lebih mendekati anda, spt misalnya iklan yg ditawarkan sesuai dengan kebutuhan anda, informasi di suatu portal berita disesuaikan dengan kegemaran anda, rekomendasi atas suatu tempat disesuaikan dengan keinginan anda, dan lain sebagainya.

Bagi sebagian (besar) orang, hal ini menunjukkan dunia yang semakin terhubung dan semakin mendekatkan semua orang. Tapi sayangnya saya pribadi kok tidak suka ya di-profiling, seakan2 ada penguntit yg kepo ingin tau segala keinginan dan aktivitas saya  🙂

Berlebihan? mungkin saja  🙂

Tapi tetap saja saya ingin mengenal semua hal, menerima semua informasi tanpa filter, mencari tempat yg sesuai mood saya saat itu, dan menjadi bebas tanpa batas dan filter. Dan yang pasti, saya tidak mau ada mesin yg merasa mengenal saya, padahal manusia itu selalu berubah.

Maka dari itu, saya nda mau login di Chrome, tidak mau menerima cookies kecuali sangat terpaksa, selalu menghapus history browsing, tidak mau menyimpan credential di Chrome. Intinya selalu menjadi anonim di Internet agar tidak ada mesin yg bisa mengklasifikasikan saya. No strings on me

Dua gambar diatas memberikan penjelasan tentang aturan privacy, antara Google dan Telegram. I love Telegram  🙂

Gimana sih cara kerja Google Scholar?

24 Jumat Mar 2017

Posted by bogi in Seputar IT

≈ 1 Komentar

Tag

cara kerja google scholar, daftar google scholar, DSpace, EPrints, google, google scholar, OJS, scopus, thomson reuters

Punya publikasi dan ingin diindex oleh Google Scholar?
Kenapa publikasi saya nda masuk ke Google Scholar?
Gimana sih cara kerja Google Scholar?

Seringkali liat website publisher, entah jurnal (journal) atau prosiding (proceeding) yang mempromosikan bahwa paper-paper yg ada di mereka akan diindex oleh Google Scholar. Rada bingung juga, karena sebenarnya Google Scholar itu free dan kita bisa secara pribadi mendaftarkan publikasi kita di Google Scholar, tentu saja sepanjang aturan2 dari Google Scholar telah kita penuhi.

Sebelum masuk ke cara kerja Google Scholar, ada baiknya kita diskusikan dulu apa itu Google Scholar. Sama spt Google yang melakukan indexing (mendata dan mendaftarkan) berbagai informasi, Google Scholar juga melakukan hal yg sama, hanya saja yg diindex adalah karya tulis ilmiah. Karena Google Scholar merupakan subset dari Google, maka persyaratan untuk bisa masuk daftar Google Scholar tentunya lebih rumit. Scopus dan Thomson Reuters juga sama spt Google Scholar namun dgn persyaratan yg jauh lebih rumit.

Jadi gimana caranya agar publikasi kita bisa diindex di Google Sholar?

Untuk bisa diindex oleh Google Scholar, kita harus punya wadah untuk publikasinya. Ada beberapa wadah publikasi yg diperbolehkan oleh Google Scholar, mulai dari yg paling sederhana sampai yg paling keren:

  1. homepage atau website pribadi, bisa pake yg free spt WordPress, Blogspot, Blogger, atau pake yg sedikit bermartabat spt website yg disediakan oleh perusahaan atau institusi kita spt misalnya http://www.institusiku.ac.id/~namaku atau http://namaku.staf.institusiku.ac.id
  2. aplikasi in-house (bikin sendiri) untuk repositori atau publikasi
  3. aplikasi publikasi spt OJS (Open Journal System) yg mencakup proses untuk submission, review, dan publishing
  4. aplikasi repositori spt DSpace atau Eprints yg sangat powerful untuk indexing

Setelah karya tulis kita sudah ada di web, maka selanjutnya adalah memastikan bahwa web publikasi kita sudah “Google Scholar Friendly”, dalam artian Google Scholar tidak akan mendapatkan kesulitan saat membaca website publikasi kita. Tahapan ini hanya berlaku jika kita menggunakan pilihan wadah publikasi nomor 1 dan 2 di atas. Kalau pakai yg nomor 3 dan 4 (OJS, DSpace, Eprints) kita nda perlu lagi pusing2 dgn “Google Scholar Friendly” karena sudah dijamin pembuat aplikasi2 tsb yg pusing tujuh keliling dgn mesin indexing spt Google Scholar (seiring berjalannya waktu, aturan2 indexing dari Google Scholar juga berkembang semakin ketat dan rumit).

Tahapan terakhir adalah mendaftarkan website publikasi kita ke Google Scholar, untuk meminta Google Scholar memulai membaca karya2 tulis kita.

 

Informasi lebih lanjut bisa dilihat di Google Scholar Help

Untuk mendaftarkan web publikasi ke Google Scholar bisa dilakukan disini

Akhir kata, selamat meningkatkan h-index  🙂

 

Berlangganan

  • Entries (RSS)
  • Comments (RSS)

Arsip

  • Januari 2023
  • Februari 2022
  • Juli 2021
  • Mei 2021
  • Maret 2021
  • Januari 2021
  • Desember 2020
  • Juni 2020
  • April 2020
  • Februari 2020
  • Oktober 2019
  • Maret 2019
  • Februari 2019
  • Januari 2019
  • November 2018
  • Oktober 2018
  • Agustus 2018
  • Juni 2018
  • Maret 2018
  • Februari 2018
  • Desember 2017
  • November 2017
  • Oktober 2017
  • September 2017
  • Agustus 2017
  • Juli 2017
  • Juni 2017
  • Mei 2017
  • April 2017
  • Maret 2017
  • Februari 2017
  • Januari 2017
  • Desember 2016
  • November 2016
  • Oktober 2016
  • September 2016
  • Agustus 2016
  • Mei 2016
  • April 2016
  • Januari 2016
  • Desember 2015
  • November 2015
  • November 2014
  • Oktober 2014
  • September 2014
  • Agustus 2014
  • Juni 2013
  • Mei 2013
  • April 2013
  • Februari 2013
  • Januari 2013
  • November 2012
  • Maret 2012
  • November 2011
  • Oktober 2011
  • Agustus 2011
  • Juli 2011
  • Juni 2011

Kategori

  • Dharma
  • Materi Ajar
    • Artificial Intelligence
    • IT audit
    • microprocessor
    • Multimedia System
  • Seputar IT
    • FreeBSD
    • OSS
  • sosialita
  • Teknologi
  • Uncategorized

Meta

  • Daftar
  • Masuk

Blog di WordPress.com.

  • Ikuti Mengikuti
    • kn-OWL-edge
    • Bergabunglah dengan 68 pengikut lainnya
    • Sudah punya akun WordPress.com? Login sekarang.
    • kn-OWL-edge
    • Sesuaikan
    • Ikuti Mengikuti
    • Daftar
    • Masuk
    • Laporkan isi ini
    • Lihat situs dalam Pembaca
    • Kelola langganan
    • Ciutkan bilah ini
 

Memuat Komentar...