Selama ini istilah body shaming lebih terkenal dibandingkan mind shaming, padahal dalam berbagai kasus, mind shaming memberikan efek yang lebih negatif. Kenapa? Karena jika kita merasa rendah diri karena di-body shaming-kan, kita masih bisa memperbaikinya dengan pengaturan, perawatan, dan olahraga. Namun untuk kasus mind shaming, jika kita merasa rendah diri karena ide2 kita diremehkan, maka sangat sedikit yg bisa kita lakukan untuk mengubahnya.
Memang keduanya bersumber dari orang lain (bukan dari diri sendiri), dan kita tidak bisa mengubah pandangan orang lain terhadap kita, jadi sebenarnya terserah kita apakah kita mau menerima shaming tsb dan mengubah diri kita sesuai “arahan” shaming, atau tetap tersenyum dan menganggap pendapat orang lain tsb sbg angin lalu.
Nah, terkait mind shaming, saya masih sering melihat para pimpinan yang meremehkan ide2 yg dilontarkan oleh mereka yg levelnya di bawahnya. Tapi saat ide tsh di-rephrase oleh pimpinan yg lain atau atasan mereka, ide tsb langsung disambut dgn gegap gempita. Tentunya hal ini akan membuat iklim kerja yg tidak kondusif, padahal salah satu peran pokok pimpinan adalah membangun iklim kerja yg kondusif.
Di salah satu BUMN, semangat untuk mendengarkan ide2 dari semua pihak sudah mulai ditumbuhkan, dengan harapan hal spt ini bisa menjadi budaya kerja. Beberapa caranya adalah dengan memberikan media bagi inovasi dan ide, menilainya, dan memastikan inovasi dan ide terbaik mendapatkan penghargaan. Meskipun masih terdapat beberapa kekurangan, spt misalnya mencampuradukkan antara definisi inovasi dengan ide, namun hal ini patut dihargai.
Sementara di perguruan tinggi, dosen memiliki 2 keunggulan dibandingkan mahasiswa, yaitu (1) intellectual authority di mana mahasiswa menganggap dosen adalah expert yg lebih tahu dari mereka, dan (2) practical authority di mana mahasiswa menganggap dosen berkuasa terhadap keputusan untuk meluluskan mereka atau tidak. Kedua hal ini sedikit tidak menyebabkan dosen akan terbuka untuk melakukan mind shaming terhadap ide2 yg dilontarkan mahasiswanya.
Sayangnya aspek ini belum atau jarang menjadi penilaian feedback dari mahasiswa kepada dosennya. Biasanya yg ditanyakan kepada mahasiswa adalah “apakah dosen menguasai materi?”, “apakah dosen datang tepat waktu?”, dan “apakah dosen memberikan materi sesuai silabus?”
Mudah2an kedepannya akan ada penilaian dari mahasiswa:
Apakah dosen terbuka untuk menerima ide anda?
Apakah dosen bisa membuat ide/pertanyaan anda menjadi diskusi yg menarik?
Sebuah tulisan yg menarik:
https://chroniclevitae.com/news/2163-what-is-indoctrination-and-how-do-we-avoid-it-in-class?cid=VTEVPMSED1